Pembicaraan di kalangan komunitas sepak bola nasional memang lebih sering mengangkat masalah kompetisi ini. Isu ini mengalahkan persiapan tim U-19 yang sudah selesai menjalankan, untuk sementara, latihan dan uji coba di luar negeri.

Dalam tulisan saya sekitar tiga pekan lalu dengan judul “PSSI Bukan Hanya Timnas” ada disinggung tentang bagaimana PSSI menyelesaikan persoalan kompetisi ini sesegera mungkin sehingga roda kompetisi kembali berputar, dan otomatis menghidupkan perekonomian pemain, ofisial serta mereka semua yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan tersebut.

Di alenia kedua dari bawah pada tulisan saya tersebut, tertulis: “Sekadar mengingatkan kembali, bahwa Ibul (Ketum PSSI Mochamad Iriawan) tidak mungkin berjudi dengan kepolisian dalam meyakinkan pihak klub untuk kelanjutan kompetisi. Rencana awal bulan Oktober digelar kompetisi sudah gagal. Apakah Ibul mau mempertaruhkan reputasinya lagi dengan menjanjikan klub bahwa kompetisi akan bergulir di November? Bagaimana kalau kembali kepolisian tidak memberikan ijin keramaian?” Terbukti sudah...!

Dalam rapat Exco PSSI di Yogyakarta, 13 Oktober, dikeluarkan keputusan bahwa kompetisi akan bergulir kembali tanggal 1 November 2020. Keputusan ini sesuai dengan janji awal Ketua PSSI Mochamad Iriawan atau biasa disapa Ibul bahwa pihaknya akan terus berupaya memutar kompetisi kembali sesegera mungkin.

Sebagai penanggung jawab tertinggi, Ibul memang terus berupaya agar kompetisi bisa digelarkan kembali. Meski jalan menuju pengambilan keputusan sangat bernuansa konflik dan kepentingan. Di dalam Exco sendiri terpecah suara antara yang setuju kompetisi kembali berputar, dan yang kontra menginginkan kompetisi dihentikan saja. Kedua pihak yang berseberangan sama-sama mempunyai alasan.

Ibul Tidak Berani

Exco PSSI akhirnya lempar handuk, pertanda menyerah untuk menggulirkan kompetisi di tahun 2020 ini. Langkah yang diambil Exco dengan cara pengambilan keputusan lewat surat-menyurat ini, memastikan kompetisi kembali berputar awal tahun depan, 2021. Format kompetisi akan dibicarakan kemudian, karena sudah pasti kompetisi tahun 2020 tersebut harus diselesaikan dalam tempo sekitar dua-tiga bulan saja.

Alasannya sangat sederhana, ada bulan puasa dan acara mega Piala Dunia U-20 di enam kota di Tanah Air, bulan Mei-Juni 2021. Kompetisi periode tahun 2021 pun dengan sendirinya akan mulai berputar seusai gelaran Piala Dunia U-20, sekitar bulan Juli atau Agustus.

Secara organisasi, keputusan ini sudah tepat. Paling tidak sudah ada kepastian jadwal dari PSSI bahwa kompetisi akan bergulir awal tahun depan, dan klub-klub peserta dipersilahkan mempersiapkan diri untuk berlaga. Namun, seperti cerita sebelumnya, siapa yang bisa menjamin bahwa di awal tahun depan, kepolisian bisa memberikan izin keramaian bagi PSSI? Dua kali sudah, tertundanya kompetisi digulirkan kembali karena masalah perizinan dari kepolisian, dan bukan karena ketidakmampuan PT LIB selaku operator kompetisi memutar kompetisi.

Apakah faktor “kepolisian” ini sudah dipikirkan matang-matang oleh Ibul dan Exco? Mungkinkah ada sesuatu di balik sulitnya kepolisian memberikan izin keramaian bagi PSSI? Kok, Pilkada saja bisa, lalu mengapa pertandingan bola--tentu dengan mengikuti protokol covid-19--tidak mendapat izin, atau persetujuan pemerintah?

Sebagai Jenderal (purn) polisi, Ibul seharusnya tidak sulit mendapatkan izin keramaian tersebut. Tetapi, faktanya, ternyata bertolak belakang. Adakah hubungan yang kurang harmonis di antara Ibul dan kepolisian, atau faktor-faktor di luar sepak bola yang menghambat PSSI mendapatkan restu dari kepolisian? Tanyakan kepada rumput yang bergoyang...!

Info A1 yang didapat penulis, seharusnya kompetisi per 1 November sudah bisa bergulir, kalau saja Ibul memiliki niat, dan lebih tepat keberanian dalam memperjuangkan sepak bola (baca PSSI) yang dipimpinnya. Dua pekan lalu, sudah ada lampu hijau dari pemerintah untuk mempersilahkan PSSI memutar kompetisi, tetapi Ibul dan PSSI tidak cerdas dan tidak berani memanfaatkan momentum tersebut.

Saat bertemu Presiden Joko Widodo dalam acara evaluasi persiapan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 tahun depan sekitar dua pekan lalu di Istana Negara, Ibul memiliki kesempatan untuk mendapatkan izin tetsebut, tetapi tidak dilakukannya. Padahal rapat saat itu dihadiri, antara lain Presiden, Kapolri, Menpora, PSSI (baca Ibul) serta beberapa KL (Kementrian dan Lembaga) terkait.

Di depan Presiden, Ibul bagaikan terkunci rapat-rapat mulutnya untuk mengutarakan maksud PSSI menggulirkan kompetisi di bulan November. Padahal, skenario tersebut sudah dirancang dan dipersiapkan secara matang, dan Ibul tinggal menyampaikan saja kepada Presiden. Akan tetapi, karena ketidakberanian Ibul, akhirnya pupuslah harapan menggulirkan kompetisi di November. “Saya tidak menyangka, Ibul kok penakut seperti itu,” tegas salah seorang petinggi PSSI setelah mengetahui adanya skenario tersebut.

“Di dalam kasih, tidak ada ketakutan; kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barang siapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih”.

Ada alasan dari oknum petinggi PSSI tersebut untuk kecewa dengan sikap Ibul di depan Presiden. Dia sangat yakin dan optimis, jika saat itu Ibul menyampaikan maksud PSSI memutar kembali kompetisi, maka Presiden akan menyetujuinya. Karena pernyataan Presiden itu disampaikan langsung dan didengar Kapolri. Otomatis, Kapolri tinggal meneruskan keinginan Presiden itu dengan mengeluarkan izin keramaian bagi PSSI.

Sikap Menpora

Hal lain yang menarik adalah langkah Menpora dalam menyikapi pelaksanaan kompetisi sepak bola ini. Ada ketidakpastian sikap dari Menpora, atau sikap ambigu terutama antara menyetujui atau tidak kompetisi itu bergulir kembali. Melalui Kemenpora sebagai kepanjangan tangan pemerintah, masalah kompetisi ini seharusnya tidak perlu berlarut-larut kepastiannya.

Menpora pernah “meminjam” kapasitas Polri untuk bersama-sama tidak mengijinkan kompetisi berputar di awal Oktober. Saat itu, Polri yang mendekatkan diri kepada Menpora untuk sama-sama membahas masalah kompetisi sepakbola. Keluarlah kesepakatan segitiga, PSSI-Polri-Menpora bahwa kompetisi ditunda.

Jika memang demikian, dan merujuk pada pernyataan terakhir Sesmenpora Gatot Dewabroto dua pekan lalu bahwa pemerintah mempersilahkan seluruh cabang olahraga (cabor) memutar kompetisi, maka sudah tidak ada masalah lagi. Lalu, mengapa Menpora tidak terus-terang saja menginstruksikan PSSI untuk melanjutkan memutar kompetisi, dengan terlebih dahulu melunakkan sikap Polri?

Dengan memakai prinsip terbalik, maka Menpora kali ini harusnya bisa bekerja sama dengan kepolisian untuk mengeluarkan izin bagi PSSI. Pertanyaannya, mengapa Menpora tidak mau, atau tidak berani melakukannya? Apakah Menpora juga dalam posisi tidak berani, karena khawatir langkah yang akan diambil bisa disebut sebagai intervensi pemerintah terhadap PSSI?

Kalau tadinya Polri yang mendatangi Menpora, maka kini, Menpora-lah yang mengundang Polri untuk mengeluarkan izin bagi PSSI. Mengapa? Karena Polri adalah kepanjangan tangan pemerintah seperti yang dikemukakan Mempora Zainudin Amali ketika menerima Polri untuk membahas persoalan kompetisi ini beberapa pekan lalu di kantor Kemenpora.

Sebaiknya, Menpora jangan lagi mengekang diri dalam kungkungan kata: “Intervensi”. Sejak tahun 2017, ketika PSSI mendatangani Presiden untuk meminta bantuan dalam mendukung dan mengembangkan pembinaan sepak bola dan pembangunan intfrastruktur, maka jurang pemisah--dengan memakai kata intervensi--antara PSSI-pemerintah sudah tersambung. PSSI sudah “melamar “ pemerintah untuk bersama-sama bergandeng tangan memperbaiki sepak bola Indonesia.

Dengan dikeluarkannya Inpres no 3 tahun 2019 tentang Persecepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional (P3N), maka pemerintah secara jelas dan tegas sudah menjawab kerja sama yang harmonis yang ditawarkan PSSI. Jadi, sekali lagi, pemerintah tidak perlu khawatir dengan kata intervensi. Bila perlu, dan jika keadaan semakin sulit dikendali, pemerintah berhak menggelar Kongres Luar Biasa (KLB), atau melahirkan federasi baru sekalian.

PSSI juga harus berkaca diri untuk tidak perlu mengumandangkan kata intervensi, yang akhirnya memperlebar jarak dan hubungan yang sinerji dengan pemerintah. PSSI tidak perlu bersikap banci untuk berlindung dalam ketidakmampuannya mengurus sepak bola. Jika bantuan atau keterlibatan pemerintah menguntungkan PSSI maka itu disebut sebagai kerja sama yang baik. Tetapi, ketika pemerintah mencoba memperbaiki kebobrokan yang ada di PSSI, maka itu disebut sebagai intervensi.

Saatnya sekarang PSSI membuka diri dari seluruh elemen yang masih peduli dengan sepakbola nasional, sebelum direvolusi pemerintah atau masyarakat sepakbola. Meminjam pernyataan rekan wartawan senior saya, Yon Moeis: “Jenderal, kaki sebelah Anda sudah di bibir jurang. Tunggu didorong saja, masuklah seluruh badan ke dalam jurang ”. Bagaimana...?!