Pernyataan Presiden itu bisa diartikan sebagai gambaran kekecewaannya terhadap kinerja sejumlah menterinya akhir-akhir ini. Ada tercetus sebuah kalimat pendek tetapi bermakna begitu dalam bagi semua menteri kabinet sekarang. “Tidak ada visi menteri. Adanya visi Presiden,”.

Jelas, pernyataan Jokowi itu tidak semata-mata dialamatkan kepada menteri tertentu. Semua menteri di bawah kendali Presiden saat ini harus bekerja sesuai visi Presiden, termasuk Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), tentunya.

Bulan Mei tahun 2015 saat Menpora Imam Nahwari membekukan PSSI, Presiden angkat bicara tentang pembekuan itu. “Mestinya PSSI dan pemerintah bekerja sama yang baik. Ini bukan intervensi, kami semua ingin sepak bola Indonesia lebih baik,” kata Presiden saat itu.

Sekitar setahun kemudian, di bulan April 2016, Jokowi yang memang bertekad melakukan perubahan menyeluruh di sepakbola Indonesia, kembali menyorot kinerja PSSI. Jokowi, bahkan, menekankan bahwa harus ada perbaikan menyeluruh di lingkungan sepak bola nasional, termasuk perubahan sistem maupun manajemen.

Dalam acara silahturahim jajaran PSSI dengan Presiden di Istana Negara, Jakarta, saat itu, Jokowi serukan reformasi total sepak bola nasional. “Saya ingin betul ada reformasi total. Reformasi persepakbolaan nasional tidak boleh tanggung-tanggung, dan tidak boleh berhenti,” tegas Jokowi dalam pengarahannya.

Kilas balik pernyataan Jokowi di atas jelas memperlihatkan visi Presiden terhadap langkah-langkah apa yang harus diambil oleh Menpora demi perubahan dan kemajuan sepak bola nasional. Dan, itu diulangi lagi oleh Jokowi saat melantik menterinya di bulan Oktober tahun lalu. “Sepak bolanya Pak,” kata Jokowi mengingatkan Zainudin Amali sebagai Menpora yang baru.

“Mendiamkan”

Pertengahan Desember 2020 lalu, viral di media sosial Ketua PSSI, Mochamad Iriawan atau Iwan Bule (Ibul) terindikasi terlibat jual-beli jabatan manajer tim Tim Nasional U-20 dengan nilai uang yang sudah diterima pihak PSSI sebesar 100.000 dollar Singapura (sekitar Rp 1 miliar). Sebagian dari uang tersebut diperuntukan bagi kegiatan operasional kenderaan Pelatih Shin Tae-yong (STY) yang menangani Timnas U-20.

Ada dua alasan yang bisa membuat Amali, yang adalah Ketua INAFOC, PANTAS dan HARUS memanggil Ibul untuk mengklarifikasi berita tersebut. Pertama, Ibul dipanggil dalam kapasitasnya sebagai Ketua Pelaksana Peningkatan Prestasi Tim Nasional U-20 sesuai Keputusan Presiden (Keppres) tentang Piala Dunia U-20 tahun 2021 (yang kemudian diundur ke tahun 2023 oleh FIFA).

Alasan kedua, sebagian dari uang Rp 1 miliar itu diperuntukan bagi biaya operasional kenderaan STY di Timnas U-20. Padahal, ada dana subsidi pemerintah sekitar Rp 56 miliar bagi keperluan Timnas U-20 sampai dengan berlangsungnya Piala Dunia. Ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat sepak bola nasional, apakah dana Rp 56 miliar itu sudah habis? Atau, ada indikasi penyalahgunaan dana subsidi tersebut di kemudian hari?

Atas dasar dua alasan di atas itulah Menpora harus bereaksi cepat menyelesaikan masalah ini. Apalagi, di kalangan insan sepak bola nasional dan sejumlah pemangku kepentingan (stakeholder) terus mempertanyakan kelanjutan kasus tersebut. Selain PSSI yang menyelesaikan secara internal, maka Menpora punya wewenang dan tanggung jawab penuh lewat jalur panitia INAFOC untuk menuntaskannya.

Menpora tidak bisa melepaskan tanggung jawab sebagai Ketua INAFOC, dan membiarkan kasus ini diselesaikan cukup di internal PSSI. Cara ini bisa diambil, hanya, kalau Ibul tidak ada dalam kepanitiaan INAFOC. Padahal, kita semua tahu bahwa Ibul ditunjuk lewat Keppres untuk menahkodai Timnas U-20.

Secara moral, Menpora harus membersihkan nama baik Ibul dan Panitia INAFOC dari kasus ini. Lebih dari itu, dengan menuntaskan kasus ini lewat jalur INAFOC, Menpora telah menjawab visi Presiden, yaitu reformasi total sepakbola nasional di semua lini.

Menurut penulis, penyelesaian kasus ini oleh Menpora bukanlah intervensi pemerintah terhadap PSSI. Sebetulnya, bukannya Menpora tidak mampu atau tidak mengerti. Tetapi, Menpora mau atau tidak…!?

Satu hal yang pasti, dengan mendiamkan kasus ini menguap sendirinya dan dilupakan masyarakat sepakbola nasional, maka Menpora jelas tidak sejalan dengan visi Presiden melakukan reformasi total di sepak bola nasional.

Keputusan Komite Yudisial

Komite Yudisial PSSI sejak Kamis, 7 Januari 2021 telah merespons kasus ini dengan melakukan klarifikasi kepada dua oknum dari sejumlah nama yang diduga terlibat.

Kedua sosok tersebut, Joko Purwoko sebagai Staf Khusus Ketua PSSI, dan Achmad Harris, pengusaha. Dalam Surat bernomor: 2975/UDN/789/I-2021 perihal Hasil Klarifikasi yang terdiri dari enam halaman, didapat kesimpulan, “Tidak ada jual-beli jabatan (manajer timnas) di lingkungan PSSI,”.

Yang menarik dari keputusan Komite Yudisial ini, yaitu ada sejumlah keanehan dan kejanggalan. Pertama, komite hanya “mendengarkan laporan dari Joko Purwoko dan Achmad Harris”. Padahal dalam tulisan yang sudah viral dan ditulis oleh akun “Cocomeo”, ada lebih dari dua nama di atas yang disebut-sebut ikut berperan dalam dugaan jual-beli jabatan manajer tim. Kedua, komite “mengabaikan dan tidak memanggil Rudy Kangdra yang adalah Direktur Keuangan PSSI, dan Ketua PSSI Mochamad Iriawan”.

Ketiga, keterangan Joko Purwoko maupun Achmad Harris saling bertentangan tentang pertemuan pertama kali keduanya. Joko mengaku “pertama bertemu Harris di tahun 2016”. Sedangkan, Harris mengaku “bertemu Joko di tahun 2015”.

Keempat, baik Joko maupun Harris mengaku “uang Rp 1 miliar telah dikembalikan, setelah FIFA mengumumkan pengunduran jadwal Piala Dunia U-20 dari tahun 2021 ke tahun 2023”. Kapan pengembalian uang itu dilakukan dari Joko ke Harris, tidak disebutkan. Yang pasti, FIFA mengumumkan pengundunran kegiatan tersebut, tanggal 24 Desember 2020.

Kelima, Joko mengaku “akan melaporkan akun sosial media Cocomeo ke pihak kepolisian”. Meski agak terlambat, tetapi sebaiknya kita tunggu apakah ini bukan sebuah janji kosong dari Joko. Dengan membuka kasus ini lewat kepolisian maka kita berharap kebenaran akan terkuak.

Keenam, Joko mengaku apa yang ditulis akun Cocomeo “tidak benar, dan hanya untuk kepentingan menyudutkan ketua PSSI dan federasi”. Apa bukti yang dimiliki Joko untuk menguatkan pendapatnya ini? Tidak dijelaskan.

Ketujuh, Joko membenarkan “ada pertemuan antara Mochamad Iriawan dan Dody Reza. Akan tetapi, keduanya DIKETAHUI hanya membicarakan prospek bisnis Muba untuk ke depan”. Ini keanehan yang paling menggelikan dari pernyataan Joko.

Pertemuan hanya empat mata, tetapi Joko bisa mengetahui isi pembicaraan? Terlepas dari suka atau tidak suka dengan hasil klarifikasi Komite Yudisial, yang pasti PSSI telah menyelesaikan kewajibannya menyelidiki kasus dugaan jual-beli jabatan manajer tim. Dalam tembusannya, tidak ditujukan kepada KONI Pusat dan Menpora sebagai otoritas tertinggi dari PSSI.

Kalau PSSI dan Menpora menganggap kasus ini sebagai “kaleng-kalengan”, semoga Presiden Jokowi tidak demikian. Yang penulis tahu, kasus ini sudah sampai di lingkungan Istana. Untuk itu, marilah kita berharap Jokowi tidak menutup mata, dan masih tetap berkomitmen melakukan reformasi total di sepakbola, termasuk segera mendesak PSSI melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) demi menyelamatkan pagelaran Piala Dunia U-20 tahun 2023.